Melaju
perlahan Bus Tami Jaya menuju daerah asing yang tak pernah ku tahu. Tidak asing
sebenarnya menurutku karena setiap kali aku pergi ke Gua Maria Sendang Sono
pasti aku lewat sini, hanya lewat tetapi tidak
tahu itu apa. Pengantar yang
indah, karena jam lima menuju jam enam pagi kulalui dengan jalan berkelok menaiki
bukit disambut oleh matahari yang mencuat dari peraduan, serta padi yang
menari-nari karena angin pagi. Terima kasih semesta telah menghadirkanku
dalam kesempatan indah ini, sungguh langsung ku mengaktifkan telepon genggam
yang semula kumatikan
demi menghemat baterai untuk memotret setiap sudut dan sisi dari jendela Bus
Tami Jaya. Sekali lagi, aku membuka mataku lebar-lebar, seluruh mataku
mengembang demi ciptaan Tuhan yang maha indah ini. Pertanda bahwa Tuhan itu ada
di mana-mana bahkan ada
di matahari yang kusaksikan saat itu.
Sebagian
kata pengantar di atas adalah
latar tempat dan suasana yang akan aku hadapi selama lima hari empat malam di desa yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Kalirejo, nama itu yang kulihat pertama
kali di papan pengumuman di depan ruang kecantikan di sekolahku. Tak pernah
terbayang, tinggal di sana,
apa yang ku perbuat, dan lain seterusnya. Sepanjang perjalanan itu aku terus
mencari apa maksud dan tujuanku menuju kesana? Masih terlihat tanda tanya itu
dari kejauhan. Ternyata, tanda tanya itu sebentar lagi akan mengerucut.
“Sini
bapak bawa salah satu tasnya, biar terlihat seperti orang Jakarta,” ujar bapak yang
bernama lengkap Kanisius Sudargo itu sembari membungkuk rendah dan menjabat
tanganku. Ketidakinginanku untuk
tidak memberikan tasku luluh karena air muka bapak yang tersenyum dan tertawa
setiap saat kepada siapapun di gereja pada saat itu. Beliaulah yang akan
menjadi “kepala keluarga”ku selama lima hari disana. Keramahan orang desa adalah salah satu alasanku
untuk mulai menyukai suasana disini. Ketika satu persatu teman-temanku dijemput
orang tua asuh mereka dengan jalan kaki atau naik motor, aku yang melihat pemandangan
indah itu dengan niat awal menyapa mereka, memilih untuk tidak melakukannya dan
bungkam dengan mulut yang rapat serta senyum yang segaris lebih manis daripada
yang aku rasakan. Biarkan mereka bahagia bertemu keluarga baru mereka untuk
sementara waktu. Pemandangan bahagia itu ku ibaratkan bagaikan surga dan
sekarang surga itu dekat denganku, disambut angin yang bertiup sepoi. Aku
membentangkan tanganku dan tersenyum sepanjang jalan melihat pemandangan indah
itu. Sungguh, kedua kalinya aku berkata Tuhan itu ada di mana-mana.
Teh
dalam termos. Setiap pagi, setiap siang, setiap malam, bahkan tengah malam
menjelang subuh pun minuman itu adalah kawan akrabku. Direbus dengan cara ala teh tanpa filter alias
daun teh yang masih utuh kering itu selalu kuteguk. Masalah pemanis, silahkan takar sendiri menurut
kemampuan lidah ini untuk merasakannya. Yang dapat kumaknai adalah cairan ini menyimpan sejumlah
makna dari makna persahabatan, percintaan, persaudaraan, dan iman, cairan ini
dapat mengakrabkan aku dengan Tuhan serta sesamaku. Sifat menenangkan dari teh
ini membuatku dekat dengan bapak, ibu, Ami (Adik asuh) dan Mas Kris (Kakak
asuh) serta mengubah kesan pahit menjadi manis. Daya tarik teh ini membuatku
berpikir minuman hangat ini bisa membangkitkan hasrat persaudaraan orang-orang
disini, tak hanya rasa persaudaraan juga ada satu rasa yang menggelitik yang
ingin ku ungkap yaitu ketulusan. Ketulusan hati mereka dalam menghidangkan
minuman pekat coklat ini dan meminumnya bersama-sama dan mencairkan suasana di
tempat itu. Ketulusan hati mereka lah yang membuat semula rasa teh ini pahit
menjadi lebih manis sama seperti wajah mereka yang selalu tersenyum kembang
kempis ke arahku yang membuatku selalu berpikir mereka adalah yang terindah
bagiku. Ada lingkaran cinta yang mulai terwujud walaupun masih sedikit, masih
ada satu kepingan lagi yang akan aku bahas selanjutnya.
Tadi
aku menyinggung Mas Kris pada paragraf di atas. Mungkin yang
membaca cerita ini akan bertanya siapa dia sehingga aku menaruh perhatian yang
cukup besar. Ya, dia adalah kakak asuhku yang sekarang bekerja sebagai guru di
salah satu sekolah dasar swasta di kota Yogyakarta yaitu SD Kanisius Demangan 1
Yogyakarta. Pendiam dan santun, dua kata sifat itu terbersit di benakku dengan cepat setelah
melihatnya selama di sana.
Mungkin karena sudah dewasa dibandingkan dengan pemuda yang kutemui di sana membuatnya
menjadi pribadi yang santun serta statusnya menjadi seorang guru yang merupakan
panutan. Mas Kris yang tidak
banyak bicara ini membuatku masih tetap berhubungan meskipun hampir
tidak pernah sama sekali berbicara secara langsung. Bermula dari inisiatifku
untuk mencari akun salah satu media sosialnya menimbulkan cerita yang berbeda
dari kebanyakan orang. Bukan cerita roman picisan tetapi cerita tentang suatu
kesetiaan dan kasih sayang. Ia yang aku lihat pendiam itu ternyata menyampaikan
rasa terima kasihnya melalui
salah satu akun media sosialnya kepadaku karena keluarganya merasa terbantu
dalam hal kecil yang kami lakukan yaitu menyapu, mencuci piring, dan berladang. Ya, hal sekecil
itu bagiku adalah hal
yang menurut mereka besar sampai mereka mengucapkan terima kasih. Tak habis pikir, aku pun membalas lagi dengan mengatakan bahwa yang
kami perbuat tidak sebesar dengan apa yang keluarganya berikan kepada kami. Pada
waktu itu aku iseng bertanya kenapa Mas Kris tidak mau kerja di Jakarta karena setahuku
peluang kerja di Jakarta lebih banyak daripada di Yogyakarta dan aku terheran
dengan jawaban Mas Kris yaitu di Jakarta sudah banyak guru dan saya ingin dekat
dengan rumah. Sekali lagi, saya ingin dekat rumah. Mungkin bagi kebanyakan
orang, mengejar suatu prestasi serta upah yang fantastis agar bisa balik modal
selama pendidikan merupakan keinginan orang kebanyakan sampai rela meninggalkan
keluarga dan tidak berpikir untuk kembali padahal sebenarnya keluarga adalah
lingkungan pertama yang sangat akrab dengan kita. Merekalah yang turut
menentukan peran apa yang akan akrab dengan kita kelak di kemudian hari dan
sebegitukah kita melupakan mereka hanya karena egosentrisme semata? Pulang.
Kata itu sangat akrab di telingaku sejak mengenal Mas Kris. Ia mengajarkan
kepadaku, cinta yang lebih besar adalah cinta keluarga kepada anggotanya itu
sendiri. Mereka berempat mengajarkanku untuk menyelimuti setiap insan yang ada
di dalamnya dengan kehangatan serta kasih sayang. Disamping hal itu, totalitas
kesetiaan Mas Kris dalam mengabdi di sekolah dasar itu sejak tahun 2009 tidak
membuatnya kapok menjadi guru.
Kesetiaan akan bermuara kepada cinta. Cinta itulah yang akan membawa kita
merasakan segala sesuatu yang melegakan hati.
Cinta,
mungkin yang membaca cerita ini akan bertanya apa korelasi antara cinta dan
setiap pengalamanku yang ada disana. Cinta itu memawaskan diri manusia,
terutama manusia kota sepertiku yang penuh dengan rasa curiga, dendam, egois.
Aku merasa selama disana aku menjadi lebih mawas diri, lebih sabar, sadar lahir
batin, jarang emosi, dan lain sebagainya. Cinta itu sudah membius dalam jiwaku
akhir-akhir ini. Sekarang, lingkaran cinta itu sudah utuh, melingkar dengan
erat di sanubariku.
Mungkin
ini hanya segelintir kisahku yang diam-diam kusimpan dalam
hati dan kutuang dalam sebuah cerita singkat
ini. Fokusku bukan kepada satu objek, masalahnya terlalu banyak objek indah di sana
yang membuka setiap anggota tubuhku setiap sudutnya, menerima ketulusan itu.
Aku, Mbak Dita yang bisa ngomong Jawa ini, ingin mengakhiri kisahku. Semoga
kiranya lingkaran cintaku di kaki Bukit Merbabu ini menjadi saksi bahwa ada
beragam makna cinta dan ketulusan yang kutemukan dalam
kesederhanaan embun pagi di sana.
“Kebaikan
itu memang tak selalu harus berbentuk sesuatu yang terlihat.”
- Tere Liye, Daun Yang Jatuh Tak Pernah
Membenci Angin
Comments
Post a Comment