Karet Belakang, Jakarta, 19.30 WIB
Saat hujan mulai turun rintik-rintik
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Satu per satu orang-orang mulai meninggalkan meja kerjanya. Rasanya semuanya menjadi lebih sepi dari biasanya. Masih dengan laptopku yang menyala, aku merasa pusing menghampiriku. Ku dekati barista itu dan meminta dibuatkan kopi namun ternyata kopinya habis lantas Ia menyarankan untuk meminum teh.
"Silahkan tehnya, mbak" ujarnya
"Terima kasih" ku ucapkan sembari tersenyum
Uap air rebusan dalam teh naik berkumpul dan memecah menjadi butir butiran air kecil yang memenuhi penutup gelas. Aku pandangi dan akhirnya PLOOPP.. mataku terpejam
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Rasanya aku ingin mengulang hidupku. Iya, mengulang lagi.
Aku tidak puas dengan segalanya
Ujarnya manusia layaknya komputer. Itu kan merupakan alasan lain mengapa orang membuat komputer.
Lalu ku teringat akan kenangan masa remajaku di Bandung.
----------------------------------------------------------------------------------------
"Ibu maunya kamu belajar piano dan biola." ujar Ibu sembari menatapku
"Gak mau. Nanti jariku kasar."
"Dengan kamu bermain dua hal itu secara engga langsung melatih otak kamu untuk seimbang"
Aku pun berlalu dari hadapan ibu. Ternyata suara ibu lebih jelas terdengar
"Kamu memperhatikan Ibu berbicara, tidak?"
"Iya..." ujarku malas
"Besok kita belajar. Ibu akan mengajari kamu piano dan ibu akan hubungi teman ibu untuk mengajarimu biola"
Lalu aku diam dan berlalu.
Memang dasarnya, aku tidak pernah suka dipaksa. Apalagi kendali semua berada di tangan ibu. Jujur saja hubunganku dengan ibu tidak berjalan dengan baik seperti orang lain. Di saat teman-temanku yang lain mengandalkan ibunya sebagai tempat curhatnya kali ini aku tidak. Aku cenderung dekat dengan ayah ketimbang ibu. Ibu yang terlalu authoritarian dan ayah yang terlalu permissive. Lucunya mereka masih bisa hidup bersama. Walaupun aku tahu, mereka kadang suka berselisih paham tentang aku.
Besoknya, aku benar-benar diajak ke tempat les teman ibu. Ada pun namanya Bu Maria, guru les biolaku yang masih muda dan enggan dipanggil ibu. Namun karena ibu, aku harus memanggil kak Maria ini dengan sebutan Bu Maria. Orangnya telaten, sabar, dan tidak pernah marah. Berbeda dengan ibu.
"Kok kamu mau belajar biola?" Percakapan pertamaku dimulai dari sini
"Disuruh mama, Bu."
"Jangan panggil aku ibu ya. Panggil aja kak Maria. Saya gamau kelihatan lebih tua." ujarnya sambil tersenyum
"Oh iya, kak."
Dengan temprament yang easy aku lebih cepat beradaptasi. Sejujurnya, aku lebih suka bermain biola ketimbang bermain piano. Entah kenapa selalu ada cerita terucap setiap sebelum memulai les. Latihanku pun lebih rutin bermain biola ketimbang piano.
Suatu hari,
"Ibu ga pernah dengerin kamu latihan piano."
"Saya gasuka belajar piano, bu"
Dengan suara meninggi Ibu pun berucap "BISA-BISANYA KAMU NGOMONG SEPERTI ITU! KURANG AJAR SEKALI!"
Dan prakkk tamparan ibu tepat melesat di pipiku
Air mataku jatuh tak terbendung. Sejak saat itu aku menutup mulut dari ibu. Aku cuma berbicara dengan ayah.
Dan mungkin ini akan menjadi kisah paling tragis sepanjang hidupku. Demi membelaku, tak segan ayah juga memukul ibu. Ya, begitulah kehidupanku. Belum dewasa tapi sudah akrab dengan kekerasan. Hal itu terus terang memengaruhi jiwaku, kondisi jiwaku tidak sehat lagi.
Di dunia yang berbeda dari rumah yaitu sekolah. Aku mendapati kalau aku layaknya ratu kecantikan. Di puja-puji sana sini karena aku pintar lagi cantik. Tidak heran juga aku sering mendapati kalau banyak yang menyatakan cinta kepadaku. Salah satunya adalah pacarku sekarang. Pacarku adalah kakak kelasku yang berbeda 3 tahun dari aku. Sosoknya juga dikagumi oleh banyak teman-temanku karena Ia merupakan ketua salah satu eskul sinematografi di sekolahku. Namun, tidak banyak orang tahu sisi lainnya
"Sayang, nanti main ke rumah ya."
Aku yang sedang mengerjakan tugas hanya berkata "kapan?"
"Besok sore. Lagi pingin"
Dengan raut muka datarku aku cuma bisa berkata "oke"
Ya, aku sadar terkadang aku tidak terlalu baik dalam membina hubungan dengan orang lain termasuk pacarku sendiri. Terkadang aku juga bertanya apa sih yang ku harapkan dari hubungan ini selain status dan sayangnya aku lelah dengan semua ini. Aku tahu rasanya aku ingin mengakhiri ini semua namun mulutku tak mampu terucap
"Aku gamau." ujarku lirih kepada pacarku
"Yang... Sekali aja."
"Engga mau."
"Please, baby.."
Lalu aku meledak
"KALAU AKU BILANG ENGGA YA ENGGA"
Dan...
Aku tau pukulan itu mendarat lagi untuk ke sekian kalinya
"Aku mau putus, yang." sambil ku berurai air mata
"Yang... maafin aku." ujarnya sambil memeluk
Seperti itu drama yang terjadi dalam hidupku. Jauh, aku sebenarnya punya cinta yang tulus dengan orang yang bukan pacarku ini.
"Masih dia mukulin kamu?" suara itu sayup terdengar
"Masih." sambil aku menunjukkan luka biru itu
"Kurang ajar! Sini, aku obati. Sudah ku bilang kamu harus berani ngomong?"
Kamu kira ngomong itu mudah apa?
"Jangan dekat-dekat dia lagi ya. Aku mohon." dia memelukku erat dengan lirih
-------------------------------------------------------------------------------------------
Adalah dia. Namanya Nicholas. Temanku sejak SD dan masih berlanjut sampai sekarang. Sejujurnya, sejak aku masuk masa pubertas hanya dia yang ku cintai. Namun, Ia mungkin tidak sepaham dengan aku. Orangnya baik dan suka menolong orang lain. Tidak banyak orang tahu kalau kita berdua dekat termasuk pacarku sendiri.
Suatu sore sebelum hari itu
"Nick, aku tuh gak suka tinggal di rumah lagi." ujarku berkeluh kesah di depan teras rumahnya
"Jadi gimana papa mama kamu? Emang kamu boleh tinggal di luar itu?"
"Ya mana bolehlah kecuali kamu nemenin aku, Nick" sambil ku tersenyum
"Kamu tuh yaaa... dari kecil suka banget nempel ma aku. Gemes sendiri tau ga sih sama kamu. Untungnya kamu tuh cantik tapi..."
"tapi apa Nick?" tanyaku
"Engga papa kok."
Nicholas hari itu bukan Nicholas yang biasanya. Kali ini dia mengeluarkan kata-kata manis ya semirip rayuan gombal. Nicholas yang selama ini ku kenal bukan Nicholas yang seperti itu.
"Sudah tahu kan mau kuliah kemana?" ujarnya menyambung percakapan tadi
"Sudah. Mantap nih aku milih HI sama Psikologi tapi gatau diterima dimana. Nick nanti milih Akuntansi kan ya?"
"Iya nih. Doain aja ya."
Nicholas hari itu bukan Nicholas yang aku kenal, walaupun banyak kotak-kotak isi barang-barangnya di ruang tamu rumahnya. Ya, aku sadar sebentar lagi Nicholas bakal pergi dari Bandung buat kuliah ke Jakarta. Sementara aku akan menyusul. Kita akan ketemu lagi ketika Penyambutan Mahasiswa Baru tahun depan. Tenang, kita akan bertemu sesegeranya kok. Aku tidak pernah takut kehilangan Nicholas.
Hingga tiba hari itu,
"Kamu jaga diri, ya. Telfon aja kalau kamu butuh sesuatu. Kita terus berhubungan ya. Jangan pisah sampai disini" ujarnya
"Nick, aku ga kuat masa kamu pergi aku nangis terus." sambil ku menangis memeluknya
"Jangan nangis dong. Kan kamu cewek paling cantik di sekolah dan di mata aku." sambil mengusap air mataku
Percayalah, baru pertama kalinya Nicholas bilang kalau aku cewek paling cantik
"Nick, kamu harus janji sama aku kamu akan terus hubungi aku ya."
"Iya, cantik."
Kami berdua saling berjanji dan melingkarkan kelingking kita berdua sambil menatap wajah kami berdua.
----------------------------------------------------------------------------------------------
Nicholas yang ku kenal adalah Nicholas yang tidak pernah berbohong.
To : Nicholas
Nick, udah dimana? kamu kok ga ngabarin aku? (19.53)
To : Nicholas
Nicholas Danutirta, kamu sudah dimana? Aku daritadi menanti kabarmu (23.45)
To : Nicholas
Nicholas, I know it's your number. Why don't you answer me? Please Nick. (01.00)
Sebenarnya masih banyak pesan yang ku tulis tapi entah kenapa hanya beberapa yang aku ingat.
Memori itu lumpuh. Nicholas, aku tahu itu bukan nama khayalan. Saat itu aku masih mencarimu. Aku tidak tahu kamu dimana. Nick, kamu ingat kan janji kita? Dengan segala babak sebelum kamu meninggalkanku. Nick, aku takut. Aku enggak puas kalau kabar "sampai" itu belum terucap dari mulutmu yang manis.
Terus aku menunggu kabarmu. Hingga aku bertanya kepada semua yang dekat dengan kamu, Nick.
"Pak.. Nicholas sudah sampai kan ya di Jakarta?" suatu hari ku bertanya pada ayahku
"Sudah, nak. Kenapa memangnya?" ujar ayah heran
"Aneh aja. Nicholas enggak mengabari aku."
Disana ada ibu, sudah lama aku tidak berbicara dengan ibu. Malam itu ibu menghampiriku
"Bagaimana persiapan ujiannya, nak?"
"Ya gitu, bu." ujarku
"Kamu mikirin Nicholas?" rasanya aku gatau lagi harus apa
Air mataku tumpah
"Bu... Nicholas pernah bilang kalau dia akan terus menghubungi aku tapi sampai hari ini dia gak pernah menghubungi aku. Di saat semua orang sudah tahu dia udah sampai di Jakarta seharusnya aku dikabari sama dia tapi dia gak pernah ngabarin aku. Kenapa dia bohong bu? Bu, aku kecewa sama Nicholas."
Dan malam itu, air mataku yang hangat bersambut dengan pelukan hangat dari ibu.
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Belum tuntas rasa kecewaku dengan Nicholas. Namun, sudah banyak dan terlalu banyak (lagi-lagi) tekanan untukku. Untungnya sekarang aku sudah masuk kampus yang sama dengan Nicholas hanya beda jurusan. Ya, aku akan mencari Nicholas sendiri dan menyelesaikan segalanya sendiri.
"Kakak dari FE ya?" ujarku berkenalan dengan kakak mentorku
"Iya benar. Ada apa ya?"
"Kakak kenal Nicholas ga?"
"Nicholas siapa ya?"
"Nicholas Danutirta. Orangnya ganteng, putih, tinggi dan pakai kacamata mukanya kayak orang Belanda gitu kak. Kenal gak?"
Yang ku dapati hanyalah muka bingung "Aduh maaf kakak gak tau Nicholas itu siapa?"
Kok kakaknya bisa gak kenal sama Nick? Nick kamu kan terkenal dan kamu biasanya aktif kegiatan apapun. Jujur, aku gak puas dan aku mencoba menghubungi keluargaku
"Pak, aku gak ketemu Nicholas. Kata kakak mentorku dia gak kenal Nicholas" ujarku berkeluh kesah dengan ayah
Namun yang ku dapati jawaban yang aneh
"Besok ayah ke Jakarta ya. Nanti kita ketemu dan kita pergi ya."
Lalu telfon itu ditutup
------------------------------------------------------------------------------------------------
Hari itu langkahku benar-benar gontai. Rasanya hari itu aku hanya ingin memakai baju warna putih seharian dan ternyata benar, ayah pergi ke Jakarta bersama ibu lalu menjemputku seusai berkuliah dan menuju suatu rumah yang aku tak tahu itu rumah siapa.
Rumah itu ramai, banyak orang dan aku temui ayah dan ibu Nicholas. Ya, Nicholas. Kamu dimana sih? Aku mau marah sama kamu beneran tapi aku kangen sama kamu. Baru sampai di depan rumah itu, ayahnya sudah memanggil keluarga kami mempersilakan masuk. Aku melihat bagus rumahnya. Namun, mulutku usil dan langsung menyeletuk
"Om... Nick mana ya? Aku gapernah ketemu di kampus. Aku rasa Nick sibuk di kampus, Om."
Jawaban yang ku terima pun nihil. Aku semakin curiga ada yang mereka tutupi
Di depan tempat duduk ada meja dengan taplak putih dan ada foto seseorang. Aku memberanikan diriku untuk melihat wajah itu.
Wajah itu adalah wajah Nicholas Danutirta yang sudah hampir 8 tahun aku kenal. Tapi maksudnya ini apa? Yang ku ingat saat itu seluruh ruanganku gelap.
------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Halo... Kiara." ada suara di ujung sana yang tidak pernah ku kenal
Tapi suara itu ajaib ya bisa membangunkan dari ketakutan itu.
Sosok ini adalah orang yang menemaniku seusai aku siuman mengingat Nicholas . Namanya Theodore Danutirta akrab dipanggil Theo. Theo yang tidak pernah ku kenal sebelumnya mulai bercerita
"Nick, sudah meninggal sekitar 1 tahun yang lalu." ujarnya memulai cerita
"Lalu?"
"Nick, cukup banyak cerita sama aku tentang kamu. Kamu itu cewek yang dia suka tapi Nick itu ciut nyalinya karena tahu kamu punya pacar. Nick bilang dia gak akan bisa jadi pacar seorang cewek paling cantik dan dikagumi di sekolah. Nick cuma sekedar bilang kalau dekat dengan kamu saja udah cukup."
Nicholas, seandainya...
"Nick ada ngomong apalagi?"
"Waktu dia mau pergi dia ada kasih nomor handphonenya kamu ke aku. Katanya diajak kenalan aja soalnya dia mau masuk HI kebetulan aku anak HI."
"Ngomong aja terus, Theo"
"Nick pernah menulis sesuatu sih waktu kita liburan dan dia maunya dikasih ke kamu lewat aku katanya tandanya aku udah pernah ketemu kamu. Ini" dia menyerahkan suatu amplop lantas ku buka
Untuk : Kiara Angelina Putri
Selamat, kamu sudah mengetahui isi hatiku
Aku sadar aku cuma memberikanmu pelukan
Ya, pelukanku semu di matamu dan di rasamu
Aku sadar aku tak akan pernah dapat memilikimu
Oh ya, tenang kamu masih masuk dalam jajaran bidadari di hatiku
Jika kamu merasa kalau kamu terbawa perasaan ketahuilah itu adalah doa dari orang tuaku kepadaku agar aku bisa menenangkan hati orang lain layaknya danau
Dan mungkin kamu adalah orang yang beruntung karena tidak mudah menenangkan hati orang lain
Tapi percayalah, walaupun pelukanku semu namun cintaku akan abadi
Nanti kita berjumpa ya, entah kapan.
ditulis oleh Nicholas Danutirta sebelum pergi dari Bandung
Air mataku tak tertahan lagi. Kenapa semesta pisahkan kami dengan cara yang tidak baik
Lagi... aku menyerah karena hidupku yang kacau seperti ini.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
"Sayang... bangun. Katanya mau makan?"
Tapi bilur mata itu jatuh lagi untuk kesekian kalinya
"Kenapa, sayang?"
"Nicholas... aku tadi kebayang dia lagi."
Saat hujan mulai turun rintik-rintik
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Satu per satu orang-orang mulai meninggalkan meja kerjanya. Rasanya semuanya menjadi lebih sepi dari biasanya. Masih dengan laptopku yang menyala, aku merasa pusing menghampiriku. Ku dekati barista itu dan meminta dibuatkan kopi namun ternyata kopinya habis lantas Ia menyarankan untuk meminum teh.
"Silahkan tehnya, mbak" ujarnya
"Terima kasih" ku ucapkan sembari tersenyum
Uap air rebusan dalam teh naik berkumpul dan memecah menjadi butir butiran air kecil yang memenuhi penutup gelas. Aku pandangi dan akhirnya PLOOPP.. mataku terpejam
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Rasanya aku ingin mengulang hidupku. Iya, mengulang lagi.
Aku tidak puas dengan segalanya
Ujarnya manusia layaknya komputer. Itu kan merupakan alasan lain mengapa orang membuat komputer.
Lalu ku teringat akan kenangan masa remajaku di Bandung.
----------------------------------------------------------------------------------------
"Ibu maunya kamu belajar piano dan biola." ujar Ibu sembari menatapku
"Gak mau. Nanti jariku kasar."
"Dengan kamu bermain dua hal itu secara engga langsung melatih otak kamu untuk seimbang"
Aku pun berlalu dari hadapan ibu. Ternyata suara ibu lebih jelas terdengar
"Kamu memperhatikan Ibu berbicara, tidak?"
"Iya..." ujarku malas
"Besok kita belajar. Ibu akan mengajari kamu piano dan ibu akan hubungi teman ibu untuk mengajarimu biola"
Lalu aku diam dan berlalu.
Memang dasarnya, aku tidak pernah suka dipaksa. Apalagi kendali semua berada di tangan ibu. Jujur saja hubunganku dengan ibu tidak berjalan dengan baik seperti orang lain. Di saat teman-temanku yang lain mengandalkan ibunya sebagai tempat curhatnya kali ini aku tidak. Aku cenderung dekat dengan ayah ketimbang ibu. Ibu yang terlalu authoritarian dan ayah yang terlalu permissive. Lucunya mereka masih bisa hidup bersama. Walaupun aku tahu, mereka kadang suka berselisih paham tentang aku.
Besoknya, aku benar-benar diajak ke tempat les teman ibu. Ada pun namanya Bu Maria, guru les biolaku yang masih muda dan enggan dipanggil ibu. Namun karena ibu, aku harus memanggil kak Maria ini dengan sebutan Bu Maria. Orangnya telaten, sabar, dan tidak pernah marah. Berbeda dengan ibu.
"Kok kamu mau belajar biola?" Percakapan pertamaku dimulai dari sini
"Disuruh mama, Bu."
"Jangan panggil aku ibu ya. Panggil aja kak Maria. Saya gamau kelihatan lebih tua." ujarnya sambil tersenyum
"Oh iya, kak."
Dengan temprament yang easy aku lebih cepat beradaptasi. Sejujurnya, aku lebih suka bermain biola ketimbang bermain piano. Entah kenapa selalu ada cerita terucap setiap sebelum memulai les. Latihanku pun lebih rutin bermain biola ketimbang piano.
Suatu hari,
"Ibu ga pernah dengerin kamu latihan piano."
"Saya gasuka belajar piano, bu"
Dengan suara meninggi Ibu pun berucap "BISA-BISANYA KAMU NGOMONG SEPERTI ITU! KURANG AJAR SEKALI!"
Dan prakkk tamparan ibu tepat melesat di pipiku
Air mataku jatuh tak terbendung. Sejak saat itu aku menutup mulut dari ibu. Aku cuma berbicara dengan ayah.
Dan mungkin ini akan menjadi kisah paling tragis sepanjang hidupku. Demi membelaku, tak segan ayah juga memukul ibu. Ya, begitulah kehidupanku. Belum dewasa tapi sudah akrab dengan kekerasan. Hal itu terus terang memengaruhi jiwaku, kondisi jiwaku tidak sehat lagi.
Di dunia yang berbeda dari rumah yaitu sekolah. Aku mendapati kalau aku layaknya ratu kecantikan. Di puja-puji sana sini karena aku pintar lagi cantik. Tidak heran juga aku sering mendapati kalau banyak yang menyatakan cinta kepadaku. Salah satunya adalah pacarku sekarang. Pacarku adalah kakak kelasku yang berbeda 3 tahun dari aku. Sosoknya juga dikagumi oleh banyak teman-temanku karena Ia merupakan ketua salah satu eskul sinematografi di sekolahku. Namun, tidak banyak orang tahu sisi lainnya
"Sayang, nanti main ke rumah ya."
Aku yang sedang mengerjakan tugas hanya berkata "kapan?"
"Besok sore. Lagi pingin"
Dengan raut muka datarku aku cuma bisa berkata "oke"
Ya, aku sadar terkadang aku tidak terlalu baik dalam membina hubungan dengan orang lain termasuk pacarku sendiri. Terkadang aku juga bertanya apa sih yang ku harapkan dari hubungan ini selain status dan sayangnya aku lelah dengan semua ini. Aku tahu rasanya aku ingin mengakhiri ini semua namun mulutku tak mampu terucap
"Aku gamau." ujarku lirih kepada pacarku
"Yang... Sekali aja."
"Engga mau."
"Please, baby.."
Lalu aku meledak
"KALAU AKU BILANG ENGGA YA ENGGA"
Dan...
Aku tau pukulan itu mendarat lagi untuk ke sekian kalinya
"Aku mau putus, yang." sambil ku berurai air mata
"Yang... maafin aku." ujarnya sambil memeluk
Seperti itu drama yang terjadi dalam hidupku. Jauh, aku sebenarnya punya cinta yang tulus dengan orang yang bukan pacarku ini.
"Masih dia mukulin kamu?" suara itu sayup terdengar
"Masih." sambil aku menunjukkan luka biru itu
"Kurang ajar! Sini, aku obati. Sudah ku bilang kamu harus berani ngomong?"
Kamu kira ngomong itu mudah apa?
"Jangan dekat-dekat dia lagi ya. Aku mohon." dia memelukku erat dengan lirih
-------------------------------------------------------------------------------------------
Adalah dia. Namanya Nicholas. Temanku sejak SD dan masih berlanjut sampai sekarang. Sejujurnya, sejak aku masuk masa pubertas hanya dia yang ku cintai. Namun, Ia mungkin tidak sepaham dengan aku. Orangnya baik dan suka menolong orang lain. Tidak banyak orang tahu kalau kita berdua dekat termasuk pacarku sendiri.
Suatu sore sebelum hari itu
"Nick, aku tuh gak suka tinggal di rumah lagi." ujarku berkeluh kesah di depan teras rumahnya
"Jadi gimana papa mama kamu? Emang kamu boleh tinggal di luar itu?"
"Ya mana bolehlah kecuali kamu nemenin aku, Nick" sambil ku tersenyum
"Kamu tuh yaaa... dari kecil suka banget nempel ma aku. Gemes sendiri tau ga sih sama kamu. Untungnya kamu tuh cantik tapi..."
"tapi apa Nick?" tanyaku
"Engga papa kok."
Nicholas hari itu bukan Nicholas yang biasanya. Kali ini dia mengeluarkan kata-kata manis ya semirip rayuan gombal. Nicholas yang selama ini ku kenal bukan Nicholas yang seperti itu.
"Sudah tahu kan mau kuliah kemana?" ujarnya menyambung percakapan tadi
"Sudah. Mantap nih aku milih HI sama Psikologi tapi gatau diterima dimana. Nick nanti milih Akuntansi kan ya?"
"Iya nih. Doain aja ya."
Nicholas hari itu bukan Nicholas yang aku kenal, walaupun banyak kotak-kotak isi barang-barangnya di ruang tamu rumahnya. Ya, aku sadar sebentar lagi Nicholas bakal pergi dari Bandung buat kuliah ke Jakarta. Sementara aku akan menyusul. Kita akan ketemu lagi ketika Penyambutan Mahasiswa Baru tahun depan. Tenang, kita akan bertemu sesegeranya kok. Aku tidak pernah takut kehilangan Nicholas.
Hingga tiba hari itu,
"Kamu jaga diri, ya. Telfon aja kalau kamu butuh sesuatu. Kita terus berhubungan ya. Jangan pisah sampai disini" ujarnya
"Nick, aku ga kuat masa kamu pergi aku nangis terus." sambil ku menangis memeluknya
"Jangan nangis dong. Kan kamu cewek paling cantik di sekolah dan di mata aku." sambil mengusap air mataku
Percayalah, baru pertama kalinya Nicholas bilang kalau aku cewek paling cantik
"Nick, kamu harus janji sama aku kamu akan terus hubungi aku ya."
"Iya, cantik."
Kami berdua saling berjanji dan melingkarkan kelingking kita berdua sambil menatap wajah kami berdua.
----------------------------------------------------------------------------------------------
Nicholas yang ku kenal adalah Nicholas yang tidak pernah berbohong.
To : Nicholas
Nick, udah dimana? kamu kok ga ngabarin aku? (19.53)
To : Nicholas
Nicholas Danutirta, kamu sudah dimana? Aku daritadi menanti kabarmu (23.45)
To : Nicholas
Nicholas, I know it's your number. Why don't you answer me? Please Nick. (01.00)
Sebenarnya masih banyak pesan yang ku tulis tapi entah kenapa hanya beberapa yang aku ingat.
Memori itu lumpuh. Nicholas, aku tahu itu bukan nama khayalan. Saat itu aku masih mencarimu. Aku tidak tahu kamu dimana. Nick, kamu ingat kan janji kita? Dengan segala babak sebelum kamu meninggalkanku. Nick, aku takut. Aku enggak puas kalau kabar "sampai" itu belum terucap dari mulutmu yang manis.
Terus aku menunggu kabarmu. Hingga aku bertanya kepada semua yang dekat dengan kamu, Nick.
"Pak.. Nicholas sudah sampai kan ya di Jakarta?" suatu hari ku bertanya pada ayahku
"Sudah, nak. Kenapa memangnya?" ujar ayah heran
"Aneh aja. Nicholas enggak mengabari aku."
Disana ada ibu, sudah lama aku tidak berbicara dengan ibu. Malam itu ibu menghampiriku
"Bagaimana persiapan ujiannya, nak?"
"Ya gitu, bu." ujarku
"Kamu mikirin Nicholas?" rasanya aku gatau lagi harus apa
Air mataku tumpah
"Bu... Nicholas pernah bilang kalau dia akan terus menghubungi aku tapi sampai hari ini dia gak pernah menghubungi aku. Di saat semua orang sudah tahu dia udah sampai di Jakarta seharusnya aku dikabari sama dia tapi dia gak pernah ngabarin aku. Kenapa dia bohong bu? Bu, aku kecewa sama Nicholas."
Dan malam itu, air mataku yang hangat bersambut dengan pelukan hangat dari ibu.
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Belum tuntas rasa kecewaku dengan Nicholas. Namun, sudah banyak dan terlalu banyak (lagi-lagi) tekanan untukku. Untungnya sekarang aku sudah masuk kampus yang sama dengan Nicholas hanya beda jurusan. Ya, aku akan mencari Nicholas sendiri dan menyelesaikan segalanya sendiri.
"Kakak dari FE ya?" ujarku berkenalan dengan kakak mentorku
"Iya benar. Ada apa ya?"
"Kakak kenal Nicholas ga?"
"Nicholas siapa ya?"
"Nicholas Danutirta. Orangnya ganteng, putih, tinggi dan pakai kacamata mukanya kayak orang Belanda gitu kak. Kenal gak?"
Yang ku dapati hanyalah muka bingung "Aduh maaf kakak gak tau Nicholas itu siapa?"
Kok kakaknya bisa gak kenal sama Nick? Nick kamu kan terkenal dan kamu biasanya aktif kegiatan apapun. Jujur, aku gak puas dan aku mencoba menghubungi keluargaku
"Pak, aku gak ketemu Nicholas. Kata kakak mentorku dia gak kenal Nicholas" ujarku berkeluh kesah dengan ayah
Namun yang ku dapati jawaban yang aneh
"Besok ayah ke Jakarta ya. Nanti kita ketemu dan kita pergi ya."
Lalu telfon itu ditutup
------------------------------------------------------------------------------------------------
Hari itu langkahku benar-benar gontai. Rasanya hari itu aku hanya ingin memakai baju warna putih seharian dan ternyata benar, ayah pergi ke Jakarta bersama ibu lalu menjemputku seusai berkuliah dan menuju suatu rumah yang aku tak tahu itu rumah siapa.
Rumah itu ramai, banyak orang dan aku temui ayah dan ibu Nicholas. Ya, Nicholas. Kamu dimana sih? Aku mau marah sama kamu beneran tapi aku kangen sama kamu. Baru sampai di depan rumah itu, ayahnya sudah memanggil keluarga kami mempersilakan masuk. Aku melihat bagus rumahnya. Namun, mulutku usil dan langsung menyeletuk
"Om... Nick mana ya? Aku gapernah ketemu di kampus. Aku rasa Nick sibuk di kampus, Om."
Jawaban yang ku terima pun nihil. Aku semakin curiga ada yang mereka tutupi
Di depan tempat duduk ada meja dengan taplak putih dan ada foto seseorang. Aku memberanikan diriku untuk melihat wajah itu.
Wajah itu adalah wajah Nicholas Danutirta yang sudah hampir 8 tahun aku kenal. Tapi maksudnya ini apa? Yang ku ingat saat itu seluruh ruanganku gelap.
------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Halo... Kiara." ada suara di ujung sana yang tidak pernah ku kenal
Tapi suara itu ajaib ya bisa membangunkan dari ketakutan itu.
Sosok ini adalah orang yang menemaniku seusai aku siuman mengingat Nicholas . Namanya Theodore Danutirta akrab dipanggil Theo. Theo yang tidak pernah ku kenal sebelumnya mulai bercerita
"Nick, sudah meninggal sekitar 1 tahun yang lalu." ujarnya memulai cerita
"Lalu?"
"Nick, cukup banyak cerita sama aku tentang kamu. Kamu itu cewek yang dia suka tapi Nick itu ciut nyalinya karena tahu kamu punya pacar. Nick bilang dia gak akan bisa jadi pacar seorang cewek paling cantik dan dikagumi di sekolah. Nick cuma sekedar bilang kalau dekat dengan kamu saja udah cukup."
Nicholas, seandainya...
"Nick ada ngomong apalagi?"
"Waktu dia mau pergi dia ada kasih nomor handphonenya kamu ke aku. Katanya diajak kenalan aja soalnya dia mau masuk HI kebetulan aku anak HI."
"Ngomong aja terus, Theo"
"Nick pernah menulis sesuatu sih waktu kita liburan dan dia maunya dikasih ke kamu lewat aku katanya tandanya aku udah pernah ketemu kamu. Ini" dia menyerahkan suatu amplop lantas ku buka
Untuk : Kiara Angelina Putri
Selamat, kamu sudah mengetahui isi hatiku
Aku sadar aku cuma memberikanmu pelukan
Ya, pelukanku semu di matamu dan di rasamu
Aku sadar aku tak akan pernah dapat memilikimu
Oh ya, tenang kamu masih masuk dalam jajaran bidadari di hatiku
Jika kamu merasa kalau kamu terbawa perasaan ketahuilah itu adalah doa dari orang tuaku kepadaku agar aku bisa menenangkan hati orang lain layaknya danau
Dan mungkin kamu adalah orang yang beruntung karena tidak mudah menenangkan hati orang lain
Tapi percayalah, walaupun pelukanku semu namun cintaku akan abadi
Nanti kita berjumpa ya, entah kapan.
ditulis oleh Nicholas Danutirta sebelum pergi dari Bandung
Air mataku tak tertahan lagi. Kenapa semesta pisahkan kami dengan cara yang tidak baik
Lagi... aku menyerah karena hidupku yang kacau seperti ini.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
"Sayang... bangun. Katanya mau makan?"
Tapi bilur mata itu jatuh lagi untuk kesekian kalinya
"Kenapa, sayang?"
"Nicholas... aku tadi kebayang dia lagi."
Lelaki itu duduk sendiri daritadi. Ia terus memperhatikan dari kursi di seberang meja. Kita berdua berhadapan
"Besok kita ke tempat Nick ya. Sekarang beres-beres dan kita pulang." ujarnya sambil membantuku membereskan segala macam peralatan yang ku bawa
Theodore Danutirta. Lelaki ini yang akan menggandengku terus hingga aku menutup mata. Entah dia sadar atau tidak terkadang tingkah lakunya justru mendekati Nicholas, sepupunya. Nicholas mungkin akan tetap hidup dalam hatiku untuk selamanya tapi untuk kelak yang menemaniku bukan lagi Ia. Pencarianku sudah usai, air mataku sudah hampir habis dan di atas meja itu rindu pun menguap
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Comments
Post a Comment