Ku tulis cerita ini di
hadapan semesta yang sedang berkeluh kesah karena selalu disalahkan oleh
makhluk hidup yang menyinarinya. Kisah tentang yang sedang memadu kasih di
tengah sorot lampu panggung yang panas mengilat-ngilat mataku.
/I/
Setiap
cinta ada di jalanku, di setiap kata-kata yang ku baca dalam naskahku. Ku
ucapkan dengan mulut yang penuh dengan bunga kepadamu. Tidakkah kau lihat?
Tatapan mataku suka berbinar menyalakan pelita asmara yang ada di hati ini.
Sudah ada satu kali aku sampaikan kepadamu tentang mata ini yang selalu menatap
setiap gerak-gerikmu.
Lalu raga
kita beradu diantara panggung demi panggung. Babak demi babak pun kita hadapi
berdua. Di panggung itu banyak tokoh tetapi pusatnya hanyalah kamu dan segala
yang kau punya. Aku bersumpah memujamu seumur hidupku. Ya, seumur hidupku
takkan tergantikan oleh apapun.
Namun,
yang terjahat dari yang terjahat adalah di kala cinta itu bukan datang tepat di
hadapku. Cinta hanya lewat menghembuskan nafas di wajahku sehingga beterbangan
lah bunga-bunga itu mendayu di hadapanku. Setelah itu bunga-bunga itu pun jatuh
begitu bertemu dengan yang lain. Yang lain itu lebih dariku. Kadang ku berpikir
untuk apa ku baktikan hidupku untuk memujamu disaat yang ku puja sudah
berpindah hati?
Ku ingat
lagi akan panggung kita. Ya, ku sadar betul antara ketaksaan dan keganjilan.
Bagimu, aku hanya sebuah debu yang pantas kau singkirkan. Hanya sekedar temanmu
mungkin diantara ribuan teman mainmu di luar sana. Yang ku tahu hanyalah
panggung untuk berdusta.
/II/
Lalu aku menelusuri sanubariku,
mengorek hingga relung terdalamku. Aku menemukan yang tak pantas harus ku
persembahkan padamu. Ketika yang ku tah hanya rasa takut, bohong, bodoh,
canggung digodok menjadi satu lalu aku sebut itu cinta nurani terdalam? Pada
hakikatnya semua itu hanyalah dusta semata. Dusta untuk menutupi ketaksaaan
pinta hati ini.
Mataku
melirik, mencoba menggerlingkan pandangan ke lain raga. Tetapi mata ini sudah
menautkan kepadamu. Namun, pandangan itu tak dapat didustai. Intuisiku sudah
menuju kegalauan semu. Ya, dia datang. Tersenyum padamu lagi dan aku tepat
berada sebelahmu. Entah apa yang ku rasa hatiku ngilu, badanku serasa disiram
air es satu ember. Harusnya aku sudah bisa menggenggam tanganmu dalam hitungan
detik. Lalu ku merasa hati ini mengeluarkan suatu panas. Panas yang hanya
melumerkan sedikit cairan es.
Tiap hari
aku nikmati pemandangan indah ini. Lalu aku merasa waktu membunuhku perlahan
dengan sekali tarik saja. Aku merasa ingin mengakhiri semua ini. Tetapi di
depan kita masih ada panggung yang membawa kegembiraanku.
Aku pun
mencoba apa mau hatiku. Dengan berbekal pengetahuan tak seluas samudra dan
modal nyali yang besar aku utarakan. Pom rak khun yang berarti aku cinta
padamu. Aku kerasukkan. Dirasuki dewa cinta dari kayangan agar menghentikan dia
yang ada di pikiranmu sedang melayang-layang. Ku bisikkan melalui telingamu
agar engkau tahu dan merasa suara ini merasuk dalam pikiranmu sesegara mungkin
agar bisa menggantinya sesegera mungkin.
/III/
Masih
dalam riuh rendah dan semangat menggapai pikiranmu. Aku pun melayang-layang
dalam pikiranmu memasuki sudut demi sudut, celah demi celah agar penuhlah aku
di dalam pikiranmu. Dalam diam aku dan dia saling beradu mata seakan mata kami
mempunyai mulut dan mereka berbicara seenaknya saja. Rasa-rasa makanan yang
barusan ku makan ingin ku muntahkan setelah melihat isyarat matanya.
Lalu, aku
terdiam. Ia pun demikian. Kita dimakan suara kita sendiri. Oh maaf bukan kita
tapi aku dan kamu. Aku termakan suaramu. Ya, suaramu itu bagaikan batu yang
merajam ragaku perlahan. Maaf, tapi aku tak bisa. Semua seperti kerikil
merajamku. Oh kamu, bagaimana kau sekeji itu padaku sedangkan aku pemujamu yang
selalu bersujud di muka matamu?
Diantara
itu, aku mencoba tapaki jejak kenangan dirimu. Hari demi hari. Panggung dan
beberapa orang. Tetaplah pusatnya padamu. Namun, tak ku dapati raga yang
menyengat menarikku dalam alunan gerakan dan suaramu. Semua telah terkendali
oleh pikiran dan hati pun terasa kelu.
Ketaksaan
hati karena dangkalnya ilmu pengetahuan itu membuatku menyesal seumur hidup
telah memujamu. Ya, pahit aku rasa. Aku ingin mati tanpa menyisakan jejak. Tapi
sadarkah kamu masih ada satu babak lagi yang belum kamu dan aku lewati?
/IV/
Babak itu
adalah karya nyata dari panggung yang setiap hari kita lewati. Setiap hari aku
emban demi masuk ke dalam pikiranmu. Yang ku tahu hanya menunggu. Hatiku masih
kelu, mata ini tak berhasrat namun pikiranku terus memberontak. Kisah kita tak
terungkapkan. Khusus hari ini saja.
Tibalah
saat kita bertemu, di bawah sorot lampu panggung hari itu. Penonton yang
banyak, pemain yang banyak. Sentralnya hanyalah aku dan kamu yang bahkan aku
katakan hanya kamu saja. Aku memaksakan hatiku, kepalaku membantu mengumpulkan
partikel kenangan kamu dan aku selama ini.
Terlalu
banyak cinderamata lewat di antara kita. Kamu merupakan yang ada dan pernah
dalam hidupku seperti warna-warni pelangi yang hadir di antara kelompak matamu
yang sayu, warna merah yang merekah diantara pipi, bibir dan cuping hidungmu.
Aku, entah mengapa, merasa ini tak akan jelas pada akhirnya. Mau-maunya aku
diterlantarkan oleh cinta.
Bagai
angin meniup setiap daun tanpa arah seperti begitulah aku. Setiap kata demi
kata pada panggung ini kali ini sangat bermakna. Tak ku sangka naskah yang disodorkan
di hadapanku pada waktu yang lalu membawa dampak tersendiri akan kisah cinta
aku dan kamu.
/V/
“Mungkinkah
kita ada kesempatan ucapkan janji takkan berpisah selamanya?”
“Mungkin.. Tapi tunggu dulu..”
“Mengapa?”
“Masih ada cinta yang lain di hatiku.”
“Malam ini, aku dan kamu di antara kata-kata. Saling menautkan janji. Maukah kau tepati?”
“Mungkin…”
“Mungkin.. Tapi tunggu dulu..”
“Mengapa?”
“Masih ada cinta yang lain di hatiku.”
“Malam ini, aku dan kamu di antara kata-kata. Saling menautkan janji. Maukah kau tepati?”
“Mungkin…”
/VI/
Sebagai
penutup, aku tahu aku tak layak menyandang gelar pemilik hatimu. Tapi aku tak
rela ketika malam tiba ada yang memelukmu dalam gelap, menciummu karena cantik,
menggenggam tanganmu ketika kau takut, menghapus air matamu, menatap tawamu.
Aku ingat padamu, sumpahku semalam takkan ku lupa ketika naskah itu disodorkan,
aku menggenggam tanganmu untuk pertama kali, berbicara denganmu baik di atas
panggung dan di bawahnya, seterusnya, kaki kamu dan aku bertemu, raga kamu dan
aku bertaut, mata kamu dan aku saling pandang, hati aku yang selalu hangat
tanpa terkecuali. Riang gembira seakan seluruh alam semesta menyambutku dengan
baik tanpa menelantarku dan kamulah segalanya. Jadi, Ku tak harus memilikimu
tapi bolehkah ku slalu berada dekatmu?
Entah jawaban apapun
yang ku terima pastikan aku sudah menggenapinya 8 tahun kemudian sesuai dengan
janjiku tadi malam di atas panggung
Omggg kereeeennn
ReplyDelete:(
ReplyDelete